Tantangan Guru Fisika di Abad ke-21

Transformasi digital mengguncang dunia dan membawa pada revolusi industri ke-4. Revolusi industri lebih komprehensif dan masuk ke dalam semua aspek kehidupan, salah satunya pada bidang pendidikan. Pada bidang pendidikan juga terjadi revolusi pendidikan dari Education 1.0 (Teacher-centered learning), siswa pasif dalam pembelajaran menjadi Education 4.0  (Student-centered learning, co-creation & ubiquitous learning), dimana siswa aktif, dan mandiri dalam pembelajaran, siswa dapat membuat koneksi, memiliki kreatvitas, fleksibel, multitasking, dan dapat belajar jarak jauh.
Salah satu tantangan global saat ini yaitu tantangan inovasi belajar, antara lain bonus demografi, krisis karakter atau life skill, gen Z dan milenial, diskrupsi teknologi, dan revolusi industri 4.0. Guru abad 21 juga memiliki tantangan antara lain pembelajaran multikultural, pembelajaran bermakna, pembelajaran aktif, pembelajaran dengan kemampuan baru, dan akuntabilitas dalam pembelajaran. Keterampilan abad 21 yang harus dimiliki peserta didik antara lain learning skills (berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi), literacy skills (di bidang informasi, media, dan teknologi), serta life skills (fleksibilitas, kepemimpinan, inisiatif, produktivitas, dan keterampilan sosial). Guru/dosen sebagai pendidik juga harus memiliki keterampilan abad 21, yaitu 6 C (Communication, Collaboration, Compassion, Critical Thinking, Creative Thinking, Computation Logic). pengembangan ilmu pendidikan untuk pembelajaran fisika dapat dilakukan melalui penelitian di bidang pendidikan fisika, yang berfokus pada beberapa topik.
Hal tersebut disampaikan Prof. Lia Yuliati, M.Pd. dari Universitas Negeri Malang saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional dan Pertemuan Ilmiah XXXVI Physical Society of Indonesia (PSI) Jateng dan DIY, Rabu (17/7/24) di ruang Sidang FMIPA. Seminar diikuti oleh dosen,perwakilan PSI, guru, peneliti, dan mahasiswa.  Seminar dibuka oleh Dekan FMIPA UNY, Prof. Dr. Dadan Rosana, M.Si.
Lebih lanjut Lia Yuliati menjelaskan, pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran juga diperlukan dalam menghadapi tantangan revolusi industri 4.0. Wujud teknologi tersebut yaitu internet. Dengan menggunakan internet, guru dan siswa dapat mengakses sumber belajar melalui jurnal, video, artikel, big data. Tidak ada model Pembelajaran yang paling baik, yang ada adalah model pembelajaran yang cocok dengan tantangan zaman, khususnya revolusi industri 4.0.
Sementara itu, pembicara Wibsar Sunu Brams Dwandaru, M.Sc., Ph.D., menyampaikan materi tentang  Nanoscience & Nanotechnology, berupa “Pemanfaatan Sampah Organik menjadi Carbon Nanodots (C-Dots) dan Analisis Ukuran Partikel dengan Particle-Size Analyzer (PSA) untuk Pengelolaan Limbah Berkelanjutan”. Carbon nanodots (C-dots) yang dipreparasi dari sampah organik sisa makanan, muncul sebagai solusi inovatif dengan proses pembuatan yang mudah dan aplikasi luas dalam berbagai bidang. Pemanfaatan sampah organik menjadi C-dots membuka peluang untuk menciptakan produk yang berguna dan berkelanjutan, serta mengurangi jumlah limbah yang dibuang. Melalui pemberdayaan sampah organik menjadi C-dots dapat mereduksi volume sampah dari 385,0 g menjadi 1,3 g Dalam menghadapi permasalahan limbah organik dan konversi menjadi C-dots, particle-size analyzer (PSA) memainkan peran penting dalam memberikan informasi yang berharga tentang distribusi ukuran partikel dalam sampel.
“Dengan kombinasi inovasi C-dots dari sampah organik dan analisis ukuran partikel melalui PSA, dapat ditempuh langkah-langkah signifikan untuk mengelola sampah organik secara lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Temuan ini membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut guna memahami dampak dan potensi aplikatif dari partikel berukuran nano yang dihasilkan dalam konteks pengelolaan sampah organik sisa makanan. (ratna/witono).